BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
sebuah organisasi, pekerjaan individual, maupun kelompok akan selalu terkait
dengan pihak-pihak lain. Ketika suatu konflik muncul dalam sebuah organisasi,
penyebabnya selalu diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik.
Demikian pula ketika suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang
tidak efektif selalu menjadi kambing hitam.
Sudah
menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban seorang manajer untuk selalu
dihadapkan pada kelompok. Salah satu titik pening dari tugas seorang manajer
dalam melaksanakan komunikasi yang efektif di dalam organisasi bisnis yang
ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud dalam instruksi yang
diberikan adalah sama dengan arti yang diterima oleh penerima instruksi begitu
pula sebaliknya.
Manajer
menghabiskan 20% dari waktu kerja mereka berhadapan dengan konflik. Dalam hal
ini, manajer bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat dalam
konflik tersebut, dan bisa saja sebagai pihak pertama yang langsung terlibat
dalam konflik tersebut, dan bisa pula sebagai mediator atau pihak ketiga, yang
perannya tidak lain untuk menyelesaikan konflik antar pihak lain yang
mempengaruhi organisasi bisnis maupun individual yang terlibat di dalam
organisasi bisnis yang ditanganinya.
Makalah
ini akan membahas apa yang dimaksud dengan konflik itu sendiri, bagaimana
konflik muncul dalam suatu organisasi, dan yang paling penting ,cara-cara untuk
ma-manage dan menyelesaikan konflik yang disebut dengan manajemen konflik.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah yang dimaksud dengan konflik?
1.2.2
Apa saja yang bisa menyebabkan
terjadinya konflik?
1.2.3
Bagaimanakah strategi mengatasi konflik?
1.2.4
Bagaimanakah prinsip pelaksanaan
manajemen konflik?
1.2.5
Bagaimanakah kriteria keberhasilan dan
prosedur evaluasi manajemen konflik?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui pengertian konflik
1.3.2
Untuk mengetahui penyebab terjadinya
konflik
1.3.3
Untuk mengetahui cara mengatasi konflik
1.3.4
Untuk mengetahui prinsip pelaksanaan
manajemen konflik
1.3.5
Untuk mengetahui kriteria keberhasilan
dan prosedur evaluasi manajemen konflik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Konflik
Kata
“konflik” berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia konflik berarti percekcokan,perselisihan,pertentangan,
ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan
antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara
dua tokoh,)
Pengertian Konflik menurut para ahli :
Pengertian Konflik menurut para ahli :
Stephen
Robbins dalam bukunya Organization Behavior (1996) mendefiniskan Konflik adalah
suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah
mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif,
sesuatu yang diperhatikan pihak pertama.
Berdasarkan
pengertian tersebut, konflik dapat dinyatakan sebagai suatu keadaan dari
seseorang atau kelompok orang dalam suatu system sosial (satuan pendidikan)
yang memiliki perbedaan dalam memandang suatu hal dan diwujudkan dalam perilaku
yang tidak akan kurang sejalan dengan pihak lain yang terlibat di dalamnya
ketika mencapai tujuan tertentu.
Pandangan terhadap Konflik
Konflik
Menurut Stoner dan Freeman
Stoner
dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan
tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
Pandangan
tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari.
Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian
tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal,
konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer
dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer
sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
Pandangan
modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara
lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan
sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai
tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan
bersama.
Berdasarkan
pandangan tersebut setiap pimpinan satuan pendidikan dapat melihat bagaimana
dirinya menyoroti konflik yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal
yang perlu digaris bawahi adalah konflik sudah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari organisasi (alamiah dan wajar), perlu diambil nilai positifnya
dan perlu dikelola, karena konflik kini sudah menjadi bidang gerapan baru dan
menantang setiap pimpinan organisasi.
2.2 Penyebab Konflik
Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap
manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan
perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak
selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di
lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada
yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal
yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya
perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan
mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang
pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun
atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian
kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi
pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus
dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar
kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara
keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha
menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar
bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang
berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan
bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal
perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan
akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
2.3 Manajemen Konflik ; Strategi
Manajemen Konflik
Manajemen
konflik merupakan suatu strategi resolusi yang digunakan untuk mencegah konflik
menjadi destruktif dalam mencapai tujuan organisasi. Tujuan manajemen konflik
sendiri adalah menghentikan terjadinya konflik sehingga situasi organisasi
menjadi tenang kembali.
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135),
terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber
masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1.Strategi Mengatasi
Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut
Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan
paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menek ankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menek ankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
2.4
Prinsip-prinsip Pelaksanaan
Manajemen Konflik.
Dalam melaksanakan manajemen konflik ada beberapa prinsip
yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer, organisator, atau pemimpin,
antara lain:
a.
Perlakukanlah secara wajar dan alamiah
Timbulnya konflik dalam penyelenggaraan satuan pendidikan
merupakan suatu hal yang wajar dan alamiah. Karena sampai saat ini konflik
masih dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari organisasi, dan hal
ini musti daihadapi seorang pimpinan melalui manajemen konflik. Oleh sebab itu,
sebab itu pelaksanaan manajemen konflik harus dilakukan secara wajar dan
alamiah sebagaimana pelasanaan manajemen bidang lainnya.
b.
Pandanglah sebagai dinamisator organisasi.
Konflik dapat dipandang sebagai dinamisatororganisasi. Jika
demikian halnya, maka organisasi tanpa konflik berarti diam, statis dan lamban
dalam mencapai kemajuan yang diharapkan. Walaupun demikian, konflik yang ada
harus ditata sedemikian rupa agar dinamika yang terjadi benar-benar dapat
menjadi sesuatu yang positif untuk menghasilkan perubahan sekaligus mendudukung
perkembangan dan pencapaian tujuan pendidikan.
c.
Media Pengujian Kepemimpinan.
Kepemimpinan akan lebih teruji dengan ketika menghadapi
suatu konflik. Melalui manajemen konflik, seorang pimpinan akan memiliki
kepemimpinan yang dapat diandalkan untuk membawa roda organisasi secara dinamis
positif dalam mencapai tujuan organisasi di masa depan. Dengan demikian
jelaslah bahwa kepemimpianan seseorang tidak hanya diuji saat membawa anggota
mencapai tujuan berdasarkan rutinitas tugas formal saja, akan tetapi lebih
teruji lagi ketika menjalankan manajemen konflik.
d.
Fleksibilitas strategi
Strategi manajemen konflik yang digunakan para pimpinan
organisasi mestinya sangat fleksibel, artinya pemilihan penggunaan strategi
dimaksud sangat bergantung pada: 1) jenis, materi konflik, dan sumber
penyebabnya, 2) karakteristik pihak-pihak yang berkonflik, 3) sumberdaya yang
dimiliki dan mendukung,4) kultur masyarakat dan iklim organisasi, 5) antisipasi
dampak konflik, dan 6) intensitas dan keluasan konflik.
2.5 Kriteria Keberahasilan Dan
Prosedur Evaluasi Manajemen Konflik
1.
Kriteria keberhasilan
Keberhasilan manajemen konflik dapat diukur dari beberapa
hal yang seyogyanya menjadi langkah-langkah pelaksanaan manajemen konflik.
Kriteria kebrhasilan ini meliputi:
a.
Kemampuan membuat perencanaan analisis konflik.
Suatu perencanaan analisis konflik yang baik, setidaknya
harus menunjukkan adanya: 1) deskripsi fenomena konflik yang terjadi, 2)
identifikasi konflik, meliputi: latar belakang atau sumber penyebab terjadinya
konflik, faktor yang mempengaruhi konflik dan akibat yang akan terjadi bila
konflik diatasi atau dibiarkan, pengiringan konflik ke dalam jenis yang mana,
intensitas dan cakupan keluasannya, 3) rumusan konflik yang sesungguhnya secara
jelas dan tegas.
b. Kemampuan
melaksanakan evaluasi konflik
Keberhasilan evaluasi konflik dapat dilihat dari kemampuan
seorang pemimpin atau manajer dalam menentukan kualitas suatu konflik yang
terjadi dalam suatu satuan pendidikan. Patokan yang dapat dipakai dalam hal ini
adalah: 1) tinggi-rendahnya intensitas timbulnya konflik. 2) luas tidaknya
cakupan suatu konflik, 3) penentuan kualitas konflik (ringan/kecil, sedang/menengah,
atau besar/berat, 4) penentuan penyelesaian konflik berdasarkan prioritas.
c. Kemampuan memilih strategi manajemen konflik.
Kemampaun seorang pimpinan dalam memilih strategi manajemen
konflik yang tepat, akan sangat ditentukan oleh kemampuan, keberanian,
pengalaman, usaha, dan do’a, kematangan dirinya, serta situasi dan kondisi yang
ada. Disamping hal-hal di atas, kepedulian seorang pimpinan terhadap
prinsip-prinsip yang mesti dilaksanakan dalam manajemen konflik juga akan
menentukan keberhasilannya dalam tahap ini.
Prosedur Evaluasi Manajemen Konflik.
Prosedur evaluasi yang baik akan menggiring pada indikator
keberhasilan suatu manajemen konflik. Oleh sebab itu, untuk mengetahui
keberhasilan dalam menjalankan manajemen konflik setidaknya ada beberapa
langkah yang perlu dilaksanakan:
a.
Perencanaan Evaluasi.
Dalam menyusun perencanaan evaluasi konflik ini,
meniscayakan penyusunan instrumen evalauasi. Item-item dalam berbagai instrumen
evaluasi manajemen konflik dapat dikembangkan berdasarkan komponen manajemen
konflik itu sendiri, yaitu: perencanaan analisis konflik, evaluasi suatu
konflik, dan strategi manajemen konflik.
Sehubungan dengan ini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang manajer dalam perencanaan, antara lain: 1)instrumen
tersebut hanya sebagai contoh, dan dapat dikembangkan sesuai dengan situasi,
kondidi dan kebutuhan di lapangan. 2) perencanaan kapan instrumen
didistribusikan, siapa responden yang akan mengisi instrumen, bagaimana
pelaksanaannya, di mana tempatnya, dan analisisnya juga perlu direncanakan
secara jelas. Perencanaan analsis konflik harus memperhatikan prinsip-prinsip
integratif, komprehensif, objektif, dan berkesinambungan.
b.
Pelaksanaan evaluasi.
Dalam pelaksanaan evaluasi ini mencakup hal-hal sebagai
berikut :
1)
Mendistribusikan instrumen kepada pihak-pihak yang dianggap mengetahui konflik
yang terjadi.
2)
Mintalah agar mereka bersedia mengisi instrumen dengan jujur dan objektif.
3)
Kumpulkanlah instrumen yang telah diisi
4)
Seleksi dan tabulasikan datanya
5)
Analisis data yang ada dengan cara mencari rata-ratanya, baik per bagian maupun
keseluruhannyauntuk menentukan hasil akhir.
6)
Interpretasikan hasil analisis data dalam klasifikasi: baik sekali, baik, cukup
baik, kurang baik, dan tidak baik.
c.
Menarik Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap data
yang telah terkumpul, maka tahap selanjutnya dapat dilakukan penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini dapat dilakukan dengan sederhana,
berdasarkan kategori sebagai berikut:
1)
Baik sekali, berarti manajemen konflik yang dilakukan para manajer perlu
dipertahankan.
2)
Baik, berarti manajemen konflik yang dilakukan oleh para manajer perlu
dipertahankan, namun perlu sedikit
penyempurnaan.
3)
Cukup baik, berarti manajemen konflik yang dilakukan oleh para manajer perlu
penyempurnaan yang lebih banyak
4)
Kurang baik dan tidak baik, berarti manajemen konflik yang dilakukan para
manajer atau pimpinan perlu disempurnakan secara menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik
merupakan perbedaan, pertentangan, dan ketidak sesuaian kepentingan, tujuan,
dan kebutuhan dalam situasi formal, sosial, dan psikologis yang selalu ada
dalam setiap hubungan. Oleh sebab iti manajer sudah seharusnya memiliki
keterampilan komunikasi dan penanganan konflik yang tentunya dapat membantu
mereka mengimplementasikan keputusan – keputusan untuk mendukung proses
pencapaian tujuan suatu organisasi.
3.2 Saran
Dengan
makalah ini diharapkan mahasiswa meningkatkan pemahamannya tentang konflik dan
cara mengatasinya karena di setiap pekerjaan yang berkaitan dengan pihak-pihak
lain pasti akan berhadapan dengan suatu konflik yang bisa menghambat tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariasa.G,I Made.2007.Manajemen Pendidikan.IHDN
DENPASAR:Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar